SUKSES DENGAN MEMAAFKAN
(by Siti Khomsatun)
A.
Pendahuluan
Bagi
seorang guru, biasanya bertemu dengan perilaku siswa yang menjengkelkan adalah menu
sehari-hari, terlebih lagi jika guru berjumpa dengan siswa yang selalu menjadi
biang onar di kelas. Biasanya siswa-siswa yang demikian bertingkah ribut dengan
tujuan dan target untuk memancing emosi gurunya. Ketika guru terpancing
emosinya hingga marah, itu artinya mereka telah mencapai target. Dan inilah
buah simalakama bagi seorang guru. Para guru yang tidak berada dalam kondisi
mental yang prima, yang kurang menyadari akan arti pentingnya hubungan baik dengan
siswa dalam proses pendidikan, akan mudah terhanyut dalam situasi emosional
yang negatif. Guru akan mudah memberikan ‘lebel’ pada siswa : “Duh, dasar kamu
anak nakal !!!!!”, atau “Kalian benar-benar keterlaluaaaaaaaaaan!!!!!!” Maka,
klaim-klaim negatif pun akan bermunculan. Nah, bagaimanakah seharusnya sikap
guru yang bercermin pada akhlak Rasulullah SAW dalam menghadapi situasi seperti
ini ?
B.
Pembahasan
Sebelum
kita menjawab pertanyaan di atas, ada sebuah kisah Rasulullah SAW sebagai guru
besar dunia yang sukses dalam mendidik umatnya yang dapat kita jadikan cermin.
1.
Kisah
Rasulullah Hijrah ke Thaif
Thaif dalam sejarah awal perjuangan Rasulullah Muhammad SAW memang sangat
pahit. Terhitung tiga tahun sebelum hijrah, Rasulullah SAW melakukan perjalanan
ke Thaif untuk melakukan dakwah dan mengajak Kabilah Tsaqif masuk Islam.
Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya Siti Khadijah pada 619
Masehi dan wafatnya Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah SAW
pada 620 Masehi.
Meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khadijah ini yang disegani oleh kaum musyrik
Qurais, membuat mereka semakin berani mengganggu Rasulullah SAW. Oleh karena
itu, jika warga kota Thaif mau menerima Islam, kota ini akan dijadikan tempat
berlindung bagi warga muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Makkah.
Untuk menghindari penganiayaan yang lebih berat secara diam-diam dan dengan
berjalan kaki, Rasulullah mencoba pergi ke Thaif untuk meminta pertolongan dan
perlindungan. Rasulullah tinggal di Thaif selama sepuluh hari untuk berdakwah
dan meminta perlindungan. Namun, ternyata penduduk Thaif melakukan penolakan
dan memperlakukan Rasulullah dengan kasar.
Saat itu, kaum Tsaqif melempari Rasulullah SAW, sehingga kakinya terluka.
Tindakan brutal penduduk Thaif ini membuat Zaid bin Haritsah membelanya dan
melindunginya, tapi kepalanya juga terluka akibat terkena lemparan batu.
Akhirnya, Rasulullah berlindung di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah.
Saat itu,
Rasulullah SAW berdoa,
“Ya, Allah
kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan
diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih ladi Maha
Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku!
Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah
suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau
tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar
nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya
wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di
akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku.
Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas
perkenan-Mu.”
Dari do’a ini tentu semua begitu memahami betapa beratnya cobaan Rasulullah
SAW saat itu dalam menghadapi penganiayaan dengan penuh ridho, ikhlas dan
sabar, serta tidak pernah berputus asa. Seperti sejumlah cerita yang
diriwayatkan kembali Ulama Hadist terkenal, Imam Bukhori dan Muslim dari Asiyah
RA (istri kedua Rasulullah SAW).
Ia (Aisyah) berkata, “Wahai Rasulullah SAW, pernahkah engkau mengalami
peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Nabi saw, “Aku telah
mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang
pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah
kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika
sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan
tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah
mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus
Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu,“ Rasulullah SAM
melanjutkan.
“Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam
kepadaku lalu berkata, “ Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu
telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka,
aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.” Jawab Rasulullah
SAW, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak
keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya,
dengan sesuatu pun.“ Subhanallah..!! ( dikutip dari : M. Rizal Maslan –
detikNews ).
2.
Hikmah
dari Kisah Rasulullah Hijrah ke Thaif
Dari
uraian cerita di atas, ada satu sikap akhlak yang sangat luar biasa ditunjukkan
oleh Rasulullah SAW, yaitu ketika mendapat tawaran dari malaikat jibril dan
malaikat penjaga gunung untuk mengazab umat yang telah mencaci-maki, menghina,
melempari batu, bahkan mengusir beliau, Rasulullah SAW menolaknya. Beliau
memaafkan dan bahkan mendoakan baik bagi mereka. Ada kelapangdadaan Rasulullah
SAW yang luar biasa dan sangat jauh dari rasa dendam dan sakit hati.
3.
Implementasi
Akhlak Rasulullah SAW terhadap Sikap Guru
Bagaimanakah
seharusnya sikap seorang guru yang bercermin pada akhlak Rasulullah SAW di atas
menghadapi siswa-siswa yang sebagaimana disebutkan di atas?
Menghadapi
situasi ‘buah simalakama’ tersebut, tak ada untungnya sama sekali seorang guru
menanggapi kesalahan siswa dan memasukkannya ke dalam hati. Perlu dipahami
bahwa siswa berbuat kesalahan tidak dengan kesadaran sebagaimana kesadaran
orang yang dewasa (matang dalam berpikir). Biasanya siswa berbuat kesalahan
lebih karena dorongan naluri kanak-kanakan dan ketidak tahuannya ketimbang
sebuah pertimbangan pikiran yang matang.
Manusia
adalah makhluk Allah yang sebaik-baik makhluk. Manusia dibekali dua file yang
menunjukkan kesempurnaannya itu, yaitu “file fujur” dan “file taqwa”.
Akalnyalah nanti yang akan membuat dua hal yang bertolak belakang ini
bersinergi. Para remaja atau bahkan anak-anak belum banyak mendapatkan
kesempatan dalam hidupnya untuk menyelaraskan potensi yang dimilikinya itu
dengan akalnya. Akibatnya jarang sekali dari mereka melakukan kalkulasi
rasional terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu.
Jika
guru tidak menyadari hal ini dan dia tidak bersikap pemaaf, maka dia akan
terjebak dalam kalkulasi hakim, dengan berpikir sekalian saja siswa dihukum
yang berat supaya jera. Maka guru akan disibukkan dengan membuat
rancangan-rancangan berbagai macam hukuman untuk siswanya. Lebih buruk lagi
jika hukuman yang diberikan guru sudah tidak lagi didasari kata maaf, maka
kegiatan hukum menghukum akan menjadi lahan pelampiasan kemarahan dan
kejengkelan saja. Dan hal ini berdampak sangat negatif bagi seorang siswa.
Akhirnya,
tiada hal lain selain memaafkan mereka. Netrallkanlah kembali kondisi dengan
maaf. Selanjutnya berinteraksilah secara normal seperti biasa. Dengan maaf,
guru juga akan mudah menjadi “sosok pendoa” seperti Rasulullah SAW.
Catatan
: Maaf yang dimaksud disini bukanlah setiap pelanggaran tidak ada hukumannya,
maaf disini lebih ditekankan untuk menetralkan suasana hati guru agar tidak me’lebeli’
siswa secara negatif yang dapat merusak hubungan guru dan siswa.
C.
Kesimpulan
“Maafkanlah
setiap kesalahan para siswa, kemudian doakanlah mereka agar diberikan
kedewasaan dalam berpikir “.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar