Kamis, 29 November 2012

SUKSES DENGAN MEMAAFKAN

SUKSES DENGAN MEMAAFKAN
(by Siti Khomsatun)

 
A.    Pendahuluan
Bagi seorang guru, biasanya bertemu dengan perilaku siswa yang menjengkelkan adalah menu sehari-hari, terlebih lagi jika guru berjumpa dengan siswa yang selalu menjadi biang onar di kelas. Biasanya siswa-siswa yang demikian bertingkah ribut dengan tujuan dan target untuk memancing emosi gurunya. Ketika guru terpancing emosinya hingga marah, itu artinya mereka telah mencapai target. Dan inilah buah simalakama bagi seorang guru. Para guru yang tidak berada dalam kondisi mental yang prima, yang kurang menyadari akan arti pentingnya hubungan baik dengan siswa dalam proses pendidikan, akan mudah terhanyut dalam situasi emosional yang negatif. Guru akan mudah memberikan ‘lebel’ pada siswa : “Duh, dasar kamu anak nakal !!!!!”, atau “Kalian benar-benar keterlaluaaaaaaaaaan!!!!!!” Maka, klaim-klaim negatif pun akan bermunculan. Nah, bagaimanakah seharusnya sikap guru yang bercermin pada akhlak Rasulullah SAW dalam menghadapi situasi seperti ini ?
B.     Pembahasan
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas, ada sebuah kisah Rasulullah SAW sebagai guru besar dunia yang sukses dalam mendidik umatnya yang dapat kita jadikan cermin.
1.      Kisah Rasulullah Hijrah ke Thaif
Thaif dalam sejarah awal perjuangan Rasulullah Muhammad SAW memang sangat pahit. Terhitung tiga tahun sebelum hijrah, Rasulullah SAW melakukan perjalanan ke Thaif untuk melakukan dakwah dan mengajak Kabilah Tsaqif masuk Islam. Perjalanan ini dilakukan tidak lama setelah wafatnya Siti Khadijah pada 619 Masehi dan wafatnya Abu Thalib, pelindung utama yang juga paman Rasulullah SAW pada 620 Masehi.
Meninggalnya Abu Thalib dan Siti Khadijah ini yang disegani oleh kaum musyrik Qurais, membuat mereka semakin berani mengganggu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, jika warga kota Thaif mau menerima Islam, kota ini akan dijadikan tempat berlindung bagi warga muslimin dari kekejaman kaum musyrikin Makkah.
Untuk menghindari penganiayaan yang lebih berat secara diam-diam dan dengan berjalan kaki, Rasulullah mencoba pergi ke Thaif untuk meminta pertolongan dan perlindungan. Rasulullah tinggal di Thaif selama sepuluh hari untuk berdakwah dan meminta perlindungan. Namun, ternyata penduduk Thaif melakukan penolakan dan memperlakukan Rasulullah dengan kasar.
Saat itu, kaum Tsaqif melempari Rasulullah SAW, sehingga kakinya terluka. Tindakan brutal penduduk Thaif ini membuat Zaid bin Haritsah membelanya dan melindunginya, tapi kepalanya juga terluka akibat terkena lemparan batu. Akhirnya, Rasulullah berlindung di kebun milik ‘Utbah bin Rabi’ah.
Saat itu, Rasulullah SAW berdoa,
“Ya, Allah kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih ladi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku! Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akherat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan dan mempersalahkan diriku. Engkau berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Dari do’a ini tentu semua begitu memahami betapa beratnya cobaan Rasulullah SAW saat itu dalam menghadapi penganiayaan dengan penuh ridho, ikhlas dan sabar, serta tidak pernah berputus asa. Seperti sejumlah cerita yang diriwayatkan kembali Ulama Hadist terkenal, Imam Bukhori dan Muslim dari Asiyah RA (istri kedua Rasulullah SAW).
Ia (Aisyah) berkata, “Wahai Rasulullah SAW, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Nabi saw, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah di mana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, dan aku pandang dan tiba-tiba muncul Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu,“ Rasulullah SAM melanjutkan.
“Kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “ Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.” Jawab Rasulullah SAW, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“ Subhanallah..!! ( dikutip dari : M. Rizal Maslan – detikNews ).
2.      Hikmah dari Kisah Rasulullah Hijrah ke Thaif
Dari uraian cerita di atas, ada satu sikap akhlak yang sangat luar biasa ditunjukkan oleh Rasulullah SAW, yaitu ketika mendapat tawaran dari malaikat jibril dan malaikat penjaga gunung untuk mengazab umat yang telah mencaci-maki, menghina, melempari batu, bahkan mengusir beliau, Rasulullah SAW menolaknya. Beliau memaafkan dan bahkan mendoakan baik bagi mereka. Ada kelapangdadaan Rasulullah SAW yang luar biasa dan sangat jauh dari rasa dendam dan sakit hati.
3.      Implementasi Akhlak Rasulullah SAW terhadap Sikap Guru
Bagaimanakah seharusnya sikap seorang guru yang bercermin pada akhlak Rasulullah SAW di atas menghadapi siswa-siswa yang sebagaimana disebutkan di atas?
Menghadapi situasi ‘buah simalakama’ tersebut, tak ada untungnya sama sekali seorang guru menanggapi kesalahan siswa dan memasukkannya ke dalam hati. Perlu dipahami bahwa siswa berbuat kesalahan tidak dengan kesadaran sebagaimana kesadaran orang yang dewasa (matang dalam berpikir). Biasanya siswa berbuat kesalahan lebih karena dorongan naluri kanak-kanakan dan ketidak tahuannya ketimbang sebuah pertimbangan pikiran yang matang.
Manusia adalah makhluk Allah yang sebaik-baik makhluk. Manusia dibekali dua file yang menunjukkan kesempurnaannya itu, yaitu “file fujur” dan “file taqwa”. Akalnyalah nanti yang akan membuat dua hal yang bertolak belakang ini bersinergi. Para remaja atau bahkan anak-anak belum banyak mendapatkan kesempatan dalam hidupnya untuk menyelaraskan potensi yang dimilikinya itu dengan akalnya. Akibatnya jarang sekali dari mereka melakukan kalkulasi rasional terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu.
Jika guru tidak menyadari hal ini dan dia tidak bersikap pemaaf, maka dia akan terjebak dalam kalkulasi hakim, dengan berpikir sekalian saja siswa dihukum yang berat supaya jera. Maka guru akan disibukkan dengan membuat rancangan-rancangan berbagai macam hukuman untuk siswanya. Lebih buruk lagi jika hukuman yang diberikan guru sudah tidak lagi didasari kata maaf, maka kegiatan hukum menghukum akan menjadi lahan pelampiasan kemarahan dan kejengkelan saja. Dan hal ini berdampak sangat negatif bagi seorang siswa.
Akhirnya, tiada hal lain selain memaafkan mereka. Netrallkanlah kembali kondisi dengan maaf. Selanjutnya berinteraksilah secara normal seperti biasa. Dengan maaf, guru juga akan mudah menjadi “sosok pendoa” seperti Rasulullah SAW.
Catatan : Maaf yang dimaksud disini bukanlah setiap pelanggaran tidak ada hukumannya, maaf disini lebih ditekankan untuk menetralkan suasana hati guru agar tidak me’lebeli’ siswa secara negatif yang dapat merusak hubungan guru dan siswa.
C.    Kesimpulan
“Maafkanlah setiap kesalahan para siswa, kemudian doakanlah mereka agar diberikan kedewasaan dalam berpikir “.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar