CATATAN
PENTING :
Tulisan ini
merupakan hasil karya dari Bapak Ahmad Sultoni yang di kalangan mahasiswa,
beliau dikenal sebagai sang motivator yang sangat santun lagi bijak. Selain
itu juga beliau seorang dosen yang mengampu mata kuliah Akhlak tasawuf di
STAIN Salatiga yang sedang mengambil study S3 di bidang Pendidikan Psikologi
Islam. Pengelola blog sengaja mengunggah karya beliau ini dengan alasan bahwa
materi ini sangat cocok menjadi menu wajib bagi para guru pengampu Aqidah
Akhlak, suatu bagian mata pelajaran agama di sekolah yang pada awal pertemuan
MGMP AA I, oleh sebagian guru dianggap sebagai suatu mapel yang membosankan.
Di dalam tulisan “FRASE AQIDAH AKHLAK” ini, kalimat perkalimat yang disajikan
begitu sederhana jauh dari kata rumit apalagi menyulitkan tetapi sangat
mengena dan tepat sasaran. Harapan pengelola, setelah membaca tulisan ini,
akan mampu memberikan angin segar kepada para guru pengampu Aqidah akhlak
bahwa ternyata mata pelajaran Aqidah akhlak adalah suatu mapel yang sangat
menyenangkan dan merupakan media ibadah yang luar biasa.
“DAN JANGAN PERNAH BERPUTUS ASA DALAM MENGGAPAI
RAHMAT-NYA”
|
FRASE AQIDAH AKHLAK
Tujuan :
Mencoba memaknai aqidah,akhlak, dan aqidah akhlak sebagai sebuah frase
sehingga menjadi jelas keterkaitan keduanya. Selanjutnya menerapkannya dalam
kajian enam rukun iman, bahwa setiap rukun iman membimbing insan untuk
melahirkan akhlakul karimah
|
A. Pengertian Aqidah Akhlak
Frase
“Aqidah Akhlak” sebenarnya memberikan makna baru, AA bukan aqidah bukan pula
akhlak. Sebagaimana “rumah makan”, tidak sama dengan rumah dan tidak sama pula
dengan makan. “Rumah makan” maknanya rumah untuk makan, karena bangunannya
seperti sebuah rumah dan menyediakan makanan untuk dimakan.
Praktek pendidikan aqidah akhlak di
sekolah sering memisahkan antara aqidah dan akhlak.
Materi tentang aqidah akhlak pun disusun secara terpisah. Seorang siswa yang
sedang mengkaji aqidah, tidak diintegrasikan dengan akhlak, dan sebaliknya.
Iman kepada Allah, hanya berkisar tentang asmaul husna dan sifat 20 bagi Allah
tanpa ada tafsir yang jelas tentang keterkaitan Asma dan sifat itu dengan
akhlak yang seharusnya muncul. Begitu pula kajian akhlak, sabar misalnya, tidak
dihubungkan dengan aqidah yang benar. Salah satu hal yang perlu diperhatikan
seorang guru agama agar terjadi integrasi AA adalah tepat dalam memilih dalil
dan menafsirkannya sesuai dengan mustami’nya.
Allah
telah mengajarkan bagaimana keterkaitan antara aqidah dan akhlak yang secara
tersirat dapat dipahami dari QS ke-112, yaitu surat Al-Ihlas. Yang menarik dari
surat ini adalah, meskipun isinya menjelaskan tentang ketauhidan, meng-esakan
Allah, namun nama yang diberikan Allah sama sekali tidak terambil dari salah
satu kalimat dari ayat-ayat yang ada dalam surat tersebut. Pada biasanya, nama surat
dalam Al-Qur’an terambil dari sebuah ayat atau kalimat yang tercantum dalam
surat tersebut, misalnya Yasin, dari ayat pertama. Namun untuk surat yang
ke-112 ini, Allah memberikan nama yang unik, yaitu surat Al-Ihlas, yang namanya
tidak tercantum dalam surat tersebut.
Hal
ini boleh dipahami (Wallahu A’lam), bahwa Allah mengajarkan kepada kita sebuah hubungan yang erat antara aqidah dan
akhlak. Seseorang yang telah sampai kepada pemahaman Allah secara
benar, yang puncaknya pada pemahaman Laa
ilaha Ilallah (Tauhidullah), maka ia akan menjadi hamba yang ihlas dalam
beramal. Atau sebaliknya, seseorang dapat dikatakan telah menjadi hamba yang
ihlas apabila ia telah mengakui, memahami, dan bertindak berpedoman kepada
kalimat Tauhid tersebut. Baginya tidak ada tujuan lain, harapan lain,keinginan
dan kebutuhan lain kecuali hanya Allah. Zat tunggal, tempat seluruh alam
bergantung, yang ada tanpa diadakan dan tidaklah mungkin disifati sebagaimana
mahkluk, karena Dia berbeda dari yang diciptakannya.
Dari
pemahaman seperti itu, naka pendidikan tauhid hendaklah bisa mengaca bahwa
kebenaran tauhid akan diuji dari perilaku mukmin. Kedalaman tauhid akan
berpengaruh pada keindahan akhlak seseorang. Banyak yang sudah percaya bahwa
Allah adalah Maha Kuasa, dengan Kuasa yang Tak Terbatas. Segala kehidupan dan
kematian ada dalam ketentuan-Nya. Banyak orang yang percaya bahwa penentu segala
nasib makhluk adalah Allah, dengan sifat Kasih-Nya Allah tidak akan membiarkan
seseorang menderita, sepanjang mahkluk mau berusaha mencari takdir terbaik yang
ditawarkan Allah. Dalam realita sering kita temui, seorang mahasiswa muslim
yang sudah menyandang gelar sarjana, ternyata masih kebingungan mendapat kerja.
Ia ragu apakah ia akan mendapatkan pekerjaan. Kebingungan bisa jadi bersumber
dari dua hal berikut :
1. Ia menginginkan sesuatu yang
sebenarnya tidak begitu tepat baginya dan ia mengharuskan hal itu tercapai.
Manusia sering berdoa
kepada Allah, bukan dalam arti MEMINTA tetapi
MEMAKSA. Ketika ia angkat tangan
seraya melantunkan kalimat-kalimat doa, maka ia merasa bahwa yang ia minta
HARUS dikabulkan oleh Zat Yang Maha Bijaksana. Padahal dalam hikmah yang
terkadang manusia belum bisa memahaminya, apa yang dipaksakan itu tidak tepat
baginya. Manusia sekarang sering keliru memakai ‘baju mahkluk’. Ia hanyalah mahkluk
yang lemah yang tidaklah mengetahui rahasia segala peristiwa. Namun ia
memposisikan sebagai zat yang serba tahu. Ia memakai Baju Tuhan. Dalam kasus
seperti ini akan muncul stres, karena dalam kebijaksanaan-Nya Allah akan
mem-panding doa yang diminta. Panding dalam arti ia mungkin diberi kesempatana
untuk berfikir apakah yang dia minta sudah tepat. Jika seterusnya ia meminta
itu, maka Allah memberikan waktu kepada si pemohon untuk memenuhi persyaratan.
Setelah semua yang dibutuhkan terpenuhi, barulah ia akan diberi. Namun banyak
kasus, ketika Allah memberikan waktu untuk berfikir atau waktu untuk memenuhi
syarat, manusia merasa doanya tidak didengar Allah. Ia tidak berusaha bagaimana
menambah amalan untuk mempercepat terkabulnya doa, justru ia jatuh pada rasa
putus asa. Itulah saat kegagalan yang sesungguhnya. Tidak ada orang yang GAGAL, kecuali ia BERHENTI. Sikap yang mestinya dikembangkan adalah tetaplah berusaha
dan meminta, namun tawakallah dengan takdir dengan sebuah keyakinan bahwa Allah
lebih tau yang terbaik bagi kita.
2. Ia tidak mempercayai bahwa Allah
menanggung nasib seseorang yang telah beriman dan berilmu.
Dalam Al-Qur’an sendiri
telah ditegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan
berilmu. Dua syarat yang mestinya ada untuk tercapainya derajat yang tinggi,
tidak boleh hilang salah satunya. Kebanyakan sarjana tidak menyadari bahwa ia
adalah termasuk orang yang sudah memenuhi satu syarat yaitu telah memiliki
setitik ilmu. Bagi Allah bukan banyaknya yang kita miliki, sepanjang sudah memenuhi
secara formal, itu sudah cukup bagi kasih Allah. Selanjutnya tinggal
memperbanyak amal yang memperkuat keyakinan dan keimanan kepada Allah, tetaplah
yakin bahwa suatu saat Allah pasti akan memberi. Jangan pernah berputus asa
dari Rahmad Allah. (Wallahu A’lam)
B. Hubungan Aqidah dan Akhlak
Pendidikan
aqidah akhlak hendaknya menggunakan prinsip integrated
dalam pengajarannya. Bahwa aqidah memiliki hubungan bahkan berpengaruh kepada
akhlak. Sebaliknya keindahan akhlak seseorang semakin memperkuat aqidah sseseorang.
Aqidah akhlak bisa dimaknai :
1.
Aqidah
yang dibuktikan dengan akhlak
Aqidah adalah keimanan
dan keyakinan tentang sesuatu hal. Ini harus dibuktikan dengan akhlak.
Seseorang yakin bahwa ia kuat, hanya diakui kebenarannya setelah orang lain
tahu ia sanggup mengangkat beban yang berat. Apa yang diyakini dan diimani
menuntut sebuah konsekuensi pembuktian riil dalam sebuah perilaku. Aqidah
adalah keimanan kepada hal-hal mulia, maka harus pula dibuktikan dengan
amal-amal mulia.
MISALNYA:
Iman
kepada Allah, dibuktikan dengan tidak takut dan khawatir dengan kuasa dan Kersa
Allah yang dapat mengatur segala sesuatu. Hanya orang yang tidak mengenal Allah
yang merasa bingung ketika kekasihnya memutus hubungan dengannya. Jika ia iman
bahwa Allah Maha Kuasa, maka ketika kekasih satu meninggalkannya, akan datang
seribu calon kepadanya. Jika Allah Maha Kersa, hilangnya uang tidak lain karena
Dia menghendaki agar kita tidak terlalu terikat dengan uang. Diajarkan pada
kita bagaimana hidup tanpa uang.
Aqidah
dibuktikan dengan akhlak, bahwa apa yang diyakini dibuktikan dalam amal
keseharian. Hal ini dapat berlangsung kita melakukan hal-hal yang sepertinya
‘tidak rasional’, misalnya mentargetkan azam bahwa sebulan lagi akan membeli
pesawat TV, atau dapat pula memahami setiap kejadian yang kita alami dalam
bingkai aqidah yaitu untuk mengenali sifat-sifat Allah. Misalnya kita sakit,
maka mencoba memahami bahwa saat itu Yang Maha Kasih sedang meminta kita
istirahat di rumah, Yang Maha Pengampun sedang mengurangi dosa-dosa kita, dsb.
2.
Aqidah
yang memotivasi akhlak
Aqidah yang diimani
menjadi motivator lahirnya akhlak mulia. Keimanan kepada hari akhir, mendorong
seseorang untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar tidak sengsara dalam
kehidupan hari kemudian yang lebih kekal. Jika ada kalimat yang menyebutkan
bahwa “Dan akhirat itu lebih baik serta
lebih kekal”. Apakah berarti bahwa dunia itu tidak baik dan hanya
sementara?
Memaknai dunia yang
demikian akan memberikan dampak positif atau negatif, tergantung siapa yang
menerimanya. Jika golongan agniya’ yang menerima dalil itu, maka bisa
mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka cari tidaklah lebih baik dan lebih
kekakl dibandibg dengan janji Allah tentang akan datangnya hari kemudian, yaitu
Masa Kehidupan di Akhirat. Sebaliknya jika si miskin yang menerimanya, justru
akan menjadi masalah jika mereka menafsirkannya dengan kalimat, “Rugi ndunya ra dadi apa, rugi akhirat bakal
cilaka”, kemudian mereka seenaknya menjalani hidup. Untuk si miskin lebih
tepat jika dalil itu dimaknai, bahwa kehidupan aakhirat itu kekal, panjang dan
lama sehingga mereka harus mempersiapkaan diri dengan banyak beramal. ‘Serakah’
itu perlu bagi si miskin, sedang qonaah lebih pas untuk si kaya. Jangan
terbalik. Contoh lain, iman kepda Taqdir, “Allah
tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya”,
ini lebih tepat untuk kaum dhu’afa, agar mereka bangkit. Sedang untuk orang
kaya lebih tept menggunakan dalil, “Laa
haula walaa quwata illa billahil ‘aliyil ‘adhiem”, agar mereka tidak somse. Prinsipnya bahwa aqidah yang
dipelajari, hendaknya dapat memotivasi lahirnya ahlaq-ahlaq mulia
3.
Akhlak
yang didasari Aqidah
Aqidah/aqoid artinya
mengikat. Sebuah ikatan akan menyatukan kelompok yang diikat dan memisahkan
yang diikat dengan kelompok lain. Aqidah seperti member card. Seseorang yang tidak terdaftar sebagai mahasiswa STAIN
tidak bisa memperoleh hak mendapatkan ijazah dari lembaga tersebut. Seorang
yang belum terikat oleh janji setia dalam tali pernikahan, tidak berhak
merasakan nikmatnya pasangan hidup, meskipun ia sudah menyatakan seribu kali
bahwa ia mencintai pasangannya. Ini prinsip aqidah yang tidak tertawar.
Aqidah adalah pembeda
antar mukmin dan kafir. Seorang yang banyak beramal, namun tidak ada ikatan
dengan panitia amal, ia tidak akan mendapat pengakuan apapun. Seseorang yang
dapat berlari sangat cepat, bahkan melebihi kecepatan para peserta lomba lari,
sedangkan ia tidak terdaftar secara resmi sebagai peserta lari dalam catatan
panitia, maka ia tidak akan pernah mendapat pengakuan dan piala dari panitia.
Inilah makna ayat yang menyatakan, : “barang siapa memilih agama selain islam,
tidak akan diterima darinya (amalnya) dan akhirat kelak ia termasuk orang yang
rugi”. Mungkin amalnya bermanfaat bagi orang lain atau makhluk lain, tetapi
sayang ia tidak tercatat sebagai amal sholeh di sisi Allah. Dalam lingkup
muslim sendiri, ada aturan yang menyatakan bahwa amal yang tidak diawali dengan
basmalah, maka akan terputus. Boleh jadi amal tersebut sia-sia, boleh jadi
bermanfaat bagi orang lain tapi tidak bermanfaat bagi diri sendiri. Akhlak yang
benar adalah yang didasari oleh sebuah ikatan yang benar.
4.
Akhlak
yang bermuara pada aqidah (Ma’rifatullah)
Menikmati keindahan
lukisan adalah perantara memahami dan mengenal keindahan pelukisnya. Amal
seseorang belum sampai pada batas terakhir, jika ia masih melihat amalnya atau
melihat manfaat amalnya. Seorang yang masih takjub dengan shalat khusyu’nya
maka ia belum bisa dikatakan telah melakukan shalat dengan benar. Shalat yang
benar, ketika shalatnya mampu mengantarkan dirinya ‘bertemu’ dengan Allah,
men-Takbir-kan Allah, men-Tasbihkan Allah dan men-Tauhid-kan Allah. Akhlak suci
adalah akhlak yang mengantarkan kepada Yang Maha Suci. Akhlak yang benar
mengantarkan kepada Yang Maha Benar. Akhlak yang mulia mengantarkan kepada Yang
Maha Mulia. Materi akhlak kebanyakan tidak diarahkan pada ma’rifatullah. Materi
‘sabar’ sebenarnya bukan hanya menjelaskan bagaimana seseorang agar bertahan
ketika ditimpa musibah. Sabar lebih dijelaskan sebagai upaya mengenal Allah,
mengenali sifat-sifat Allah. Sabar adalah media mengenal Kasih Sayang Allah.
Misalnya menjelaskan prinsip-prinsip :
a. Sabar
adalah wujud kelaziman sebuah kausalitas
b. Sabar
adalah kesempatan mencapai derajat tinggi di sisi Allah
Mengkaitkan
dua kalimat Aqidah dan akhlak, ada benang merah yang harus diperhatikan oleh
para pendidik :
1.
Islam
mengajarkan seseorang yang memiliki aqidah yang benar, keyakinan yang
menghujam, harus dibuktikan dalam amal perbuatan (Akhlak). Bagai pohon tak
berbuah, ketika sebuah keyakinan tidak memberikan pengaruh jiwa beramal. Ukuran
benar dan tidaknya keyakinan atau keimanan ketika si pemilik keimanan terdorong
untuk menjadi BUKTI dari keyakinannya itu. Tidak sembuh penyakit mag seseorang, apabila ia hanya meyakini
obat itu manjur kemudian mulutnya mengucapkan ‘promag’ berulangkali tanpa
meminumnya. Penyakit mag sembuh,
apabila kausalitas minum obat sebagai sarana kesembuhan dilakukan dengan dasar
keyakinan.
KEYAKINAN
ADALAH GABUNGAN ANTARA
KATA HATI DAN PERBUATAN
2.
Islam
mengajarkan pula bahwa alat menjaga kelanggengan iman, keyakinan yang kuat
tidak lain dengan cara beramal atau berakhlak baik. Sifat keimanan pada diri
manusia adalah yanqusu wa yazidu
(berkurang dan bertambah). Perintah shalat, puasa, zakat, haji, atau amal mulia
yang lebih luas lagi , dimaksudkan untuk tetap mengikat manusia berada pada
orbit keimanan yang benar. Kehidupan ini penuh dengan tarikan kekuatan negatif,
yang demikian kuat menarik manusia kepada sisi negatif dari kehidupan, keluar
dari Siratal mustaqiem. Manusia perlu
dijaga, diberikan cara, jalan, metode untuk tetap istiqomah dalam keimananya
yang benar. Ibarat satelit bumi, apabila ia lepas dari orbit, maka ia akan
hilang bahkan musnah pada luasnya jagat raya. Jika kendaraan keluar dari jalur
yang digariskan, sangat mungkin menimbulkan kecelakaan. Sirathal mustaqiem adalah ibarat rel, sedang manusia seperti kereta
apinya. Jika kereta api keluar dari jalur, maka akan fatak akibatnya. Amal
ibadah dilakukan tidak lain untuk menjaga isi gelas keimanan pada hati manusia.
C. Aqidah Akhlak dalam rukun iman
Memahami
aqidah akhlak dalam sebuah scopa, maka secara mudah kita dapat membatasi kajian
aqidah akhlak dengan mengkaji enam rukun iman. Setiap rukun iman, sesungguhnya
memiliki kandungan tentang bagaimana seseorang harus beriman. Bagaimana
mengarahkan jiwa manusia kepada nilai-nilai keimanan. Selanjutnya kebenaran
iman itu akan dibuktikan melalui amaliah nyata (akhlak).
Misalnya
iman kepada sifat-sifat Mulia Allah, maka ada dua subyek yang menjadi kajian
kita, pertama, mendalami kesempurnaan sifat Allah yang sesungguhnya
tak terbatas. Kajian ini akan membawa pada kesadaran akan Kesempurnaan Allah
yang mengharuskan kita tunduk tersungkur di hadapan-Nya, kedua , setelah memahami
sifat Allah (dalam keterbatasan kita), maka secara insaniyah kita dituntut
untuk mengamalkannya dalam hidup keseharian.
Kesalahan
memahami rukun iman akan berimplikasi pada perilaku kita. Misalnya kita
mengenal sifat Kasih Allah, kemudian kita memaknai bahwa dengan Kasih yang tak
terbatas itu menjadikan kita tidak khawatir untuk berbuat apapun, termasuk
maksiat. Pemahaman yang demikian berarti belum integral kepada keenam rukun
iman. Kasih Allah adalah salah satu kandungan rukun pertama, namun memahaminya
perlu menengok rukun yang lain, terutama iman kepada hari akhir/hari kiamat.
Menggabungkan keduanya akan menghantarkan kita bahwa dalam Kasih Allah kitapun
tetap harus siap menerima keputusan-Nya sesuai amaliah kita. Jika amal kita
baik, maka Allah akan memberikan surga, jika amal kita jahat, Allahakan
memberikan neraka. Surga dan neraka adalah kandungan iman kepadahari akhir.
“SELAMAT BERKARYA”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar