Rabu, 28 November 2012

FRASE AQIDAH AKHLAK


CATATAN PENTING :
Tulisan ini merupakan hasil karya dari Bapak Ahmad Sultoni yang di kalangan mahasiswa, beliau dikenal sebagai sang motivator yang sangat santun lagi bijak. Selain itu juga beliau seorang dosen yang mengampu mata kuliah Akhlak tasawuf di STAIN Salatiga yang sedang mengambil study S3 di bidang Pendidikan Psikologi Islam. Pengelola blog sengaja mengunggah karya beliau ini dengan alasan bahwa materi ini sangat cocok menjadi menu wajib bagi para guru pengampu Aqidah Akhlak, suatu bagian mata pelajaran agama di sekolah yang pada awal pertemuan MGMP AA I, oleh sebagian guru dianggap sebagai suatu mapel yang membosankan. Di dalam tulisan “FRASE AQIDAH AKHLAK” ini, kalimat perkalimat yang disajikan begitu sederhana jauh dari kata rumit apalagi menyulitkan tetapi sangat mengena dan tepat sasaran. Harapan pengelola, setelah membaca tulisan ini, akan mampu memberikan angin segar kepada para guru pengampu Aqidah akhlak bahwa ternyata mata pelajaran Aqidah akhlak adalah suatu mapel yang sangat menyenangkan dan merupakan media ibadah yang luar biasa.
“DAN JANGAN PERNAH BERPUTUS ASA DALAM MENGGAPAI RAHMAT-NYA”

FRASE AQIDAH AKHLAK
Tujuan : Mencoba memaknai aqidah,akhlak, dan aqidah akhlak sebagai sebuah frase sehingga menjadi jelas keterkaitan keduanya. Selanjutnya menerapkannya dalam kajian enam rukun iman, bahwa setiap rukun iman membimbing insan untuk melahirkan akhlakul karimah
A.    Pengertian Aqidah Akhlak
Frase “Aqidah Akhlak” sebenarnya memberikan makna baru, AA bukan aqidah bukan pula akhlak. Sebagaimana “rumah makan”, tidak sama dengan rumah dan tidak sama pula dengan makan. “Rumah makan” maknanya rumah untuk makan, karena bangunannya seperti sebuah rumah dan menyediakan makanan untuk dimakan.
Praktek pendidikan aqidah akhlak di sekolah sering memisahkan antara aqidah dan akhlak. Materi tentang aqidah akhlak pun disusun secara terpisah. Seorang siswa yang sedang mengkaji aqidah, tidak diintegrasikan dengan akhlak, dan sebaliknya. Iman kepada Allah, hanya berkisar tentang asmaul husna dan sifat 20 bagi Allah tanpa ada tafsir yang jelas tentang keterkaitan Asma dan sifat itu dengan akhlak yang seharusnya muncul. Begitu pula kajian akhlak, sabar misalnya, tidak dihubungkan dengan aqidah yang benar. Salah satu hal yang perlu diperhatikan seorang guru agama agar terjadi integrasi AA adalah tepat dalam memilih dalil dan menafsirkannya sesuai dengan mustami’nya.
Allah telah mengajarkan bagaimana keterkaitan antara aqidah dan akhlak yang secara tersirat dapat dipahami dari QS ke-112, yaitu surat Al-Ihlas. Yang menarik dari surat ini adalah, meskipun isinya menjelaskan tentang ketauhidan, meng-esakan Allah, namun nama yang diberikan Allah sama sekali tidak terambil dari salah satu kalimat dari ayat-ayat yang ada dalam surat tersebut. Pada biasanya, nama surat dalam Al-Qur’an terambil dari sebuah ayat atau kalimat yang tercantum dalam surat tersebut, misalnya Yasin, dari ayat pertama. Namun untuk surat yang ke-112 ini, Allah memberikan nama yang unik, yaitu surat Al-Ihlas, yang namanya tidak tercantum dalam surat tersebut.
Hal ini boleh dipahami (Wallahu A’lam), bahwa Allah mengajarkan kepada kita sebuah hubungan yang erat antara aqidah dan akhlak. Seseorang yang telah sampai kepada pemahaman Allah secara benar, yang puncaknya pada pemahaman Laa ilaha Ilallah (Tauhidullah), maka ia akan menjadi hamba yang ihlas dalam beramal. Atau sebaliknya, seseorang dapat dikatakan telah menjadi hamba yang ihlas apabila ia telah mengakui, memahami, dan bertindak berpedoman kepada kalimat Tauhid tersebut. Baginya tidak ada tujuan lain, harapan lain,keinginan dan kebutuhan lain kecuali hanya Allah. Zat tunggal, tempat seluruh alam bergantung, yang ada tanpa diadakan dan tidaklah mungkin disifati sebagaimana mahkluk, karena Dia berbeda dari yang diciptakannya.
Dari pemahaman seperti itu, naka pendidikan tauhid hendaklah bisa mengaca bahwa kebenaran tauhid akan diuji dari perilaku mukmin. Kedalaman tauhid akan berpengaruh pada keindahan akhlak seseorang. Banyak yang sudah percaya bahwa Allah adalah Maha Kuasa, dengan Kuasa yang Tak Terbatas. Segala kehidupan dan kematian ada dalam ketentuan-Nya. Banyak orang yang percaya bahwa penentu segala nasib makhluk adalah Allah, dengan sifat Kasih-Nya Allah tidak akan membiarkan seseorang menderita, sepanjang mahkluk mau berusaha mencari takdir terbaik yang ditawarkan Allah. Dalam realita sering kita temui, seorang mahasiswa muslim yang sudah menyandang gelar sarjana, ternyata masih kebingungan mendapat kerja. Ia ragu apakah ia akan mendapatkan pekerjaan. Kebingungan bisa jadi bersumber dari dua hal berikut :
1.      Ia menginginkan sesuatu yang sebenarnya tidak begitu tepat baginya dan ia mengharuskan hal itu tercapai.
Manusia sering berdoa kepada Allah, bukan dalam arti MEMINTA tetapi MEMAKSA. Ketika ia angkat tangan seraya melantunkan kalimat-kalimat doa, maka ia merasa bahwa yang ia minta HARUS dikabulkan oleh Zat Yang Maha Bijaksana. Padahal dalam hikmah yang terkadang manusia belum bisa memahaminya, apa yang dipaksakan itu tidak tepat baginya. Manusia sekarang sering keliru memakai ‘baju mahkluk’. Ia hanyalah mahkluk yang lemah yang tidaklah mengetahui rahasia segala peristiwa. Namun ia memposisikan sebagai zat yang serba tahu. Ia memakai Baju Tuhan. Dalam kasus seperti ini akan muncul stres, karena dalam kebijaksanaan-Nya Allah akan mem-panding doa yang diminta. Panding dalam arti ia mungkin diberi kesempatana untuk berfikir apakah yang dia minta sudah tepat. Jika seterusnya ia meminta itu, maka Allah memberikan waktu kepada si pemohon untuk memenuhi persyaratan. Setelah semua yang dibutuhkan terpenuhi, barulah ia akan diberi. Namun banyak kasus, ketika Allah memberikan waktu untuk berfikir atau waktu untuk memenuhi syarat, manusia merasa doanya tidak didengar Allah. Ia tidak berusaha bagaimana menambah amalan untuk mempercepat terkabulnya doa, justru ia jatuh pada rasa putus asa. Itulah saat kegagalan yang sesungguhnya. Tidak ada orang yang GAGAL, kecuali ia BERHENTI. Sikap yang mestinya dikembangkan adalah tetaplah berusaha dan meminta, namun tawakallah dengan takdir dengan sebuah keyakinan bahwa Allah lebih tau yang terbaik bagi kita.
2.      Ia tidak mempercayai bahwa Allah menanggung nasib seseorang yang telah beriman dan berilmu.
Dalam Al-Qur’an sendiri telah ditegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu. Dua syarat yang mestinya ada untuk tercapainya derajat yang tinggi, tidak boleh hilang salah satunya. Kebanyakan sarjana tidak menyadari bahwa ia adalah termasuk orang yang sudah memenuhi satu syarat yaitu telah memiliki setitik ilmu. Bagi Allah bukan banyaknya yang kita miliki, sepanjang sudah memenuhi secara formal, itu sudah cukup bagi kasih Allah. Selanjutnya tinggal memperbanyak amal yang memperkuat keyakinan dan keimanan kepada Allah, tetaplah yakin bahwa suatu saat Allah pasti akan memberi. Jangan pernah berputus asa dari Rahmad Allah. (Wallahu A’lam)
B.     Hubungan Aqidah dan Akhlak
Pendidikan aqidah akhlak hendaknya menggunakan prinsip integrated dalam pengajarannya. Bahwa aqidah memiliki hubungan bahkan berpengaruh kepada akhlak. Sebaliknya keindahan akhlak seseorang semakin memperkuat aqidah sseseorang. Aqidah akhlak bisa dimaknai :
1.      Aqidah yang dibuktikan dengan akhlak
Aqidah adalah keimanan dan keyakinan tentang sesuatu hal. Ini harus dibuktikan dengan akhlak. Seseorang yakin bahwa ia kuat, hanya diakui kebenarannya setelah orang lain tahu ia sanggup mengangkat beban yang berat. Apa yang diyakini dan diimani menuntut sebuah konsekuensi pembuktian riil dalam sebuah perilaku. Aqidah adalah keimanan kepada hal-hal mulia, maka harus pula dibuktikan dengan amal-amal mulia.
MISALNYA:
Iman kepada Allah, dibuktikan dengan tidak takut dan khawatir dengan kuasa dan Kersa Allah yang dapat mengatur segala sesuatu. Hanya orang yang tidak mengenal Allah yang merasa bingung ketika kekasihnya memutus hubungan dengannya. Jika ia iman bahwa Allah Maha Kuasa, maka ketika kekasih satu meninggalkannya, akan datang seribu calon kepadanya. Jika Allah Maha Kersa, hilangnya uang tidak lain karena Dia menghendaki agar kita tidak terlalu terikat dengan uang. Diajarkan pada kita bagaimana hidup tanpa uang.
Aqidah dibuktikan dengan akhlak, bahwa apa yang diyakini dibuktikan dalam amal keseharian. Hal ini dapat berlangsung kita melakukan hal-hal yang sepertinya ‘tidak rasional’, misalnya mentargetkan azam bahwa sebulan lagi akan membeli pesawat TV, atau dapat pula memahami setiap kejadian yang kita alami dalam bingkai aqidah yaitu untuk mengenali sifat-sifat Allah. Misalnya kita sakit, maka mencoba memahami bahwa saat itu Yang Maha Kasih sedang meminta kita istirahat di rumah, Yang Maha Pengampun sedang mengurangi dosa-dosa kita, dsb.
2.      Aqidah yang memotivasi akhlak
Aqidah yang diimani menjadi motivator lahirnya akhlak mulia. Keimanan kepada hari akhir, mendorong seseorang untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya agar tidak sengsara dalam kehidupan hari kemudian yang lebih kekal. Jika ada kalimat yang menyebutkan bahwa “Dan akhirat itu lebih baik serta lebih kekal”. Apakah berarti bahwa dunia itu tidak baik dan hanya sementara?
Memaknai dunia yang demikian akan memberikan dampak positif atau negatif, tergantung siapa yang menerimanya. Jika golongan agniya’ yang menerima dalil itu, maka bisa mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka cari tidaklah lebih baik dan lebih kekakl dibandibg dengan janji Allah tentang akan datangnya hari kemudian, yaitu Masa Kehidupan di Akhirat. Sebaliknya jika si miskin yang menerimanya, justru akan menjadi masalah jika mereka menafsirkannya dengan kalimat, “Rugi ndunya ra dadi apa, rugi akhirat bakal cilaka”, kemudian mereka seenaknya menjalani hidup. Untuk si miskin lebih tepat jika dalil itu dimaknai, bahwa kehidupan aakhirat itu kekal, panjang dan lama sehingga mereka harus mempersiapkaan diri dengan banyak beramal. ‘Serakah’ itu perlu bagi si miskin, sedang qonaah lebih pas untuk si kaya. Jangan terbalik. Contoh lain, iman kepda Taqdir, “Allah tidak merubah nasib suatu bangsa, kecuali bangsa itu sendiri yang merubahnya”, ini lebih tepat untuk kaum dhu’afa, agar mereka bangkit. Sedang untuk orang kaya lebih tept menggunakan dalil, “Laa haula walaa quwata illa billahil ‘aliyil ‘adhiem”, agar mereka tidak somse. Prinsipnya bahwa aqidah yang dipelajari, hendaknya dapat memotivasi lahirnya ahlaq-ahlaq mulia
3.      Akhlak yang didasari Aqidah
Aqidah/aqoid artinya mengikat. Sebuah ikatan akan menyatukan kelompok yang diikat dan memisahkan yang diikat dengan kelompok lain. Aqidah seperti member card. Seseorang yang tidak terdaftar sebagai mahasiswa STAIN tidak bisa memperoleh hak mendapatkan ijazah dari lembaga tersebut. Seorang yang belum terikat oleh janji setia dalam tali pernikahan, tidak berhak merasakan nikmatnya pasangan hidup, meskipun ia sudah menyatakan seribu kali bahwa ia mencintai pasangannya. Ini prinsip aqidah yang tidak tertawar.
Aqidah adalah pembeda antar mukmin dan kafir. Seorang yang banyak beramal, namun tidak ada ikatan dengan panitia amal, ia tidak akan mendapat pengakuan apapun. Seseorang yang dapat berlari sangat cepat, bahkan melebihi kecepatan para peserta lomba lari, sedangkan ia tidak terdaftar secara resmi sebagai peserta lari dalam catatan panitia, maka ia tidak akan pernah mendapat pengakuan dan piala dari panitia. Inilah makna ayat yang menyatakan, : “barang siapa memilih agama selain islam, tidak akan diterima darinya (amalnya) dan akhirat kelak ia termasuk orang yang rugi”. Mungkin amalnya bermanfaat bagi orang lain atau makhluk lain, tetapi sayang ia tidak tercatat sebagai amal sholeh di sisi Allah. Dalam lingkup muslim sendiri, ada aturan yang menyatakan bahwa amal yang tidak diawali dengan basmalah, maka akan terputus. Boleh jadi amal tersebut sia-sia, boleh jadi bermanfaat bagi orang lain tapi tidak bermanfaat bagi diri sendiri. Akhlak yang benar adalah yang didasari oleh sebuah ikatan yang benar.





4.      Akhlak yang bermuara pada aqidah (Ma’rifatullah)
Menikmati keindahan lukisan adalah perantara memahami dan mengenal keindahan pelukisnya. Amal seseorang belum sampai pada batas terakhir, jika ia masih melihat amalnya atau melihat manfaat amalnya. Seorang yang masih takjub dengan shalat khusyu’nya maka ia belum bisa dikatakan telah melakukan shalat dengan benar. Shalat yang benar, ketika shalatnya mampu mengantarkan dirinya ‘bertemu’ dengan Allah, men-Takbir-kan Allah, men-Tasbihkan Allah dan men-Tauhid-kan Allah. Akhlak suci adalah akhlak yang mengantarkan kepada Yang Maha Suci. Akhlak yang benar mengantarkan kepada Yang Maha Benar. Akhlak yang mulia mengantarkan kepada Yang Maha Mulia. Materi akhlak kebanyakan tidak diarahkan pada ma’rifatullah. Materi ‘sabar’ sebenarnya bukan hanya menjelaskan bagaimana seseorang agar bertahan ketika ditimpa musibah. Sabar lebih dijelaskan sebagai upaya mengenal Allah, mengenali sifat-sifat Allah. Sabar adalah media mengenal Kasih Sayang Allah. Misalnya menjelaskan prinsip-prinsip :
a.       Sabar adalah wujud kelaziman sebuah kausalitas
b.      Sabar adalah kesempatan mencapai derajat tinggi di sisi Allah
Mengkaitkan dua kalimat Aqidah dan akhlak, ada benang merah yang harus diperhatikan oleh para pendidik :
1.      Islam mengajarkan seseorang yang memiliki aqidah yang benar, keyakinan yang menghujam, harus dibuktikan dalam amal perbuatan (Akhlak). Bagai pohon tak berbuah, ketika sebuah keyakinan tidak memberikan pengaruh jiwa beramal. Ukuran benar dan tidaknya keyakinan atau keimanan ketika si pemilik keimanan terdorong untuk menjadi BUKTI dari keyakinannya itu. Tidak sembuh penyakit mag seseorang, apabila ia hanya meyakini obat itu manjur kemudian mulutnya mengucapkan ‘promag’ berulangkali tanpa meminumnya. Penyakit mag sembuh, apabila kausalitas minum obat sebagai sarana kesembuhan dilakukan dengan dasar keyakinan.

KEYAKINAN ADALAH GABUNGAN ANTARA
 KATA HATI DAN PERBUATAN
2.      Islam mengajarkan pula bahwa alat menjaga kelanggengan iman, keyakinan yang kuat tidak lain dengan cara beramal atau berakhlak baik. Sifat keimanan pada diri manusia adalah yanqusu wa yazidu (berkurang dan bertambah). Perintah shalat, puasa, zakat, haji, atau amal mulia yang lebih luas lagi , dimaksudkan untuk tetap mengikat manusia berada pada orbit keimanan yang benar. Kehidupan ini penuh dengan tarikan kekuatan negatif, yang demikian kuat menarik manusia kepada sisi negatif dari kehidupan, keluar dari Siratal mustaqiem. Manusia perlu dijaga, diberikan cara, jalan, metode untuk tetap istiqomah dalam keimananya yang benar. Ibarat satelit bumi, apabila ia lepas dari orbit, maka ia akan hilang bahkan musnah pada luasnya jagat raya. Jika kendaraan keluar dari jalur yang digariskan, sangat mungkin menimbulkan kecelakaan. Sirathal mustaqiem adalah ibarat rel, sedang manusia seperti kereta apinya. Jika kereta api keluar dari jalur, maka akan fatak akibatnya. Amal ibadah dilakukan tidak lain untuk menjaga isi gelas keimanan pada hati manusia.

C.    Aqidah Akhlak dalam rukun iman
Memahami aqidah akhlak dalam sebuah scopa, maka secara mudah kita dapat membatasi kajian aqidah akhlak dengan mengkaji enam rukun iman. Setiap rukun iman, sesungguhnya memiliki kandungan tentang bagaimana seseorang harus beriman. Bagaimana mengarahkan jiwa manusia kepada nilai-nilai keimanan. Selanjutnya kebenaran iman itu akan dibuktikan melalui amaliah nyata (akhlak).
Misalnya iman kepada sifat-sifat Mulia Allah, maka ada dua subyek yang menjadi kajian kita, pertama, mendalami kesempurnaan sifat Allah yang sesungguhnya tak terbatas. Kajian ini akan membawa pada kesadaran akan Kesempurnaan Allah yang mengharuskan kita tunduk tersungkur di hadapan-Nya, kedua , setelah memahami sifat Allah (dalam keterbatasan kita), maka secara insaniyah kita dituntut untuk mengamalkannya dalam hidup keseharian.
Kesalahan memahami rukun iman akan berimplikasi pada perilaku kita. Misalnya kita mengenal sifat Kasih Allah, kemudian kita memaknai bahwa dengan Kasih yang tak terbatas itu menjadikan kita tidak khawatir untuk berbuat apapun, termasuk maksiat. Pemahaman yang demikian berarti belum integral kepada keenam rukun iman. Kasih Allah adalah salah satu kandungan rukun pertama, namun memahaminya perlu menengok rukun yang lain, terutama iman kepada hari akhir/hari kiamat. Menggabungkan keduanya akan menghantarkan kita bahwa dalam Kasih Allah kitapun tetap harus siap menerima keputusan-Nya sesuai amaliah kita. Jika amal kita baik, maka Allah akan memberikan surga, jika amal kita jahat, Allahakan memberikan neraka. Surga dan neraka adalah kandungan iman kepadahari akhir.
“SELAMAT BERKARYA”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar